Laman

Yakinlah bahwa kita bisa...........!!!!!!!!!!

HTML text

Senin, 16 Januari 2012

Pendidikan Karakter dipertaruhkan dalam Kejujuran Ujian Nasional (UN)


Gema Pendidikan Karakter tersiar di seluruh pelosok negeri, sebentar lagi akan di pertaruhkan dalam kejujuran Ujian Nasional. Mungkin terlalu sempit atau bisa jadi dianggap sangat tidak  berdasar kalau kita katakan bahwa kecurangan yang dilakukan dalam pelaksanaan Ujian Nasional menjadi indikator ketidak jujuran pendidikan kita. Namun, tidak salah, bila dijadikan sebagai salah satu indikator. Karena masih banyak unsur atau elemen lain yang bisa dijadikan indikator. Bila kita benar-benar jujur, maka kecurangan yang dilakukan oleh siswa,guru, kepala sekolah maupun para pengambil kibijakan pendidikan dengan manipulasi nilai Ujian Nasional tersebut, adalah sebuah bentuk bentuk ketidak jujuran tersebut. Sekolah sebagai salah satu basis atau learning center of honesty, selama ini sudah kehilangan makna kejujuran.

Banyak pihak tak setuju ada ujian nasional. Bukan karena takut ujian, melainkan mensinyalir pelaksanaan ujian nasional sering kali dinodai serangkaian ketidakjujuran. Ketidakjujuran itu bisa berupa mencontek antarsiswa atau tindakan yang justru difasilitasi sekolah. Memang betul ujian nasional bukan satu-satunya syarat kelulusan. Namun tanpa lulus ujian nasional, dijamin siswa tak lulus.

Mulai tahun 2003 Ujian Nasional diberlakukan, sering kita melihat atau mendengar adanya makelar jawaban, jual beli soal, pencurian soal. Dan tidak sedikit juga siswa yang bunuh diri, frustasi, serta dampak psikologis siswa/siswi yang tidak lulus Ujian Nasional. Selain itu, penyelenggaraan Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan juga menjadi momok menakutkan bagi siswa/siswi kelas 6 SD, kelas 9 SLTP maupun kelas 12 SLTA. Hal ini tidak hanya bagi siswa, pihak sekolah juga mengalaminya. Apalagi standar pendidikan kita yang belum merata, sehingga Ujian Nasional merugikan siswa dan pihak sekolah. Akibatnya pihak sekolah juga dapat berperan dalam kecurangan pendidikan itu.

 Sejak Ujian Nasional diberlakukan, banyak permasalahan yang terjadi. Semisal, Ujian Nasional yang mengerdilkan peran guru di sekolah karena dianggap tidak mampu memberikan kelulusan. Juga moral siswa, serta adanya anggapan yang meremehkan mata pelajaran yang tidak ikut diujiankan dalam Ujian Nasional, hingga kecurangan-kecurangan yang terjadi pada saat ujian. 

Ujian nasional adalah investasi yang mahal. Alur panjang mulai dari penyusunan soal, pencetakan soal, pendistribusian soal, penilaian sampai kepada supervisi memerlukan biaya besar. Di satu sisi Ujian Nasional juga telah bergeser fungsinya dari sekedar ujian untuk mengukur prestasi menjadi ujian untuk mengukur kejujuran. Baik untuk siswa, kepala sekolah, guru, orang tua dan dinas pendidikan.

Jujur adalah bibit unggul. Percuma baik tetapi tidak unggul. Ibarat padi, dia bisa dipanen dan dikonsumsi, tetapi kalau tidak unggul dia hanya mandeg sampai dikonsumsi saja.. Tetapi kalau unggul dia masih bisa dijadikan bibit lagi untuk menghasilkan butiran-butiran padi yang lain. Karenanya jangan gadaikan Ujian Nasional dengan sikap tidak jujur. Nilai kejujuran bisa dinilai dari pemahaman pada setiap diri yang tersangkut dalam Ujian Nasional. Apakah pendidik sudah mengajar dengan baik? Apakah bahan yang diajarkan telah memenuhi standar dan berkualitas? Apakah sarana dan prasarana sekolah telah dimanfaatkan dengan maksimal? Apakah siswa telah belajar dengan sungguh-sungguh, memahami materi dan mampu mengerjakan soal dengan baik?

Jika semua pihak bisa introspeksi diri dengan usaha yang telah dilakukan maka itulah takaran yang sesungguhnya. Hasil Ujian Nasional yang dicapai menunjukkan sejauh mana pihak yang terkait telah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara benar. Kini Ujian Nasional bisa dijadikan tolok ukur kejujuran suatu bangsa. Bangsa yang jujur akan menghasilkan masyarakat yang jujur. Masyarakat yang jujur akan menghasilkan pemimpin yang jujur yang tentu dipilih oleh rakyat yang jujur.

Ujian Nasional tahun ini tinggal menghitung bulan atau hari, hampir setiap sekolah memadatkan pembelajaran atau memberikan les pada siswa jauh sebelum pelaksanan ujian nasional. Itu sebagai persiapan agar siswa terbiasa mengerjakan soal-soal ujian nasional.

Kemudian, menjelang ujian nasional, beberapa sekolah "menginfus" siswa dengan mengadakan doa dan tahajud bersama. Langkah itu untuk menambah dorongan spiritual dan ketenangan ketika mereka mengerjakan soal ujian.

Ternyata di lapangan, banyak sekolah kurang mantap dengan hanya melakukan dua hal itu. Maka mereka membuat tim (Tim sukses Ujian Nasional) untuk mendukung kelulusan berdasarkan nilai minimal. Tim itu berupaya agar setiap siswa peserta ujian mendapatkan nilai minimal 5,5 untuk setiap pelajaran. Jika target itu tercapai berarti kerja tim dianggap sukses.

Tahun kemarin kita di kagetkan berita mengenai aduan “menyontek massal” yang dilakukan suatu sekolah saat Ujian Nasional berlangsung.Dan tahun sebelumnya di Medan, Komunitas Air Mata Guru (KAMG) menemukan bahwa sebelum ujian negara (ujian nasional) dilakukan, naskah soal sudah beredar di mana-mana. Dengan kata lain, terjadi kecurangan dengan membocorkan naskah soal Ujian Nasional. 

Keberanian Alif dan Siami, ibu kandung Alif, melaporkan adanya menyontek massal tersebut justru berujung petaka. Siami dicerca dan diusir masyarakat dari rumahnya, hingga harus mengasingkan diri. Masyarakat dan pihak sekolah tidak terima atas adanya aduan tersebut karena bisa merusak nama baik sekolah dan sekaligus bisa membuat Ujian Nasional di sekolah tersebut harus diulang.

Pemerintah bertindak cepat dengan memeriksa dugaan tersebut, dan hasilnya dinyatakan tidak terbukti ada tindakan menyontek massal. Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh menegaskan tidak ada peristiwa mencontek massal di Sekolah Dasar Negeri Gadel II, Surabaya, Jawa Timur. Bapak Muhammad Nuh memiliki sejumlah bukti  tidak ada insiden atau mobilisasi pencontekan massal dalam Ujian Nasional yang digelar 10 – 12 Mei 2011.Silahkan baca VivaNews untuk mengingat kembali peristiwa diatas, klik disini .
Sayang sekali kita lebih suka menjadi bangsa yang tidak jujur atas kondisi diri sendiri. Kita tidak mau jujur bahwa masih banyak persoalan terkait Ujian Nasional yang diseragamkan untuk seluruh sekolah di Indonesia, sementara kualitas pendidikan di setiap daerah berbeda-beda. Bagaimana menyamakan pendidikan di Jakarta dengan Papua ? Kita ingin semua kualitasnya sama, namun kita tidak memiliki kesungguhan untuk membuat semua sekolah di Indonesia setara kualitasnya. Jelas sekali, sangat kasat mata, perbedaan kualitas pendidikan di Jakarta dengan Papua, sebagai contoh yang sangat ekstrem.

Saat ini, kejujuran sangat sulit ditemukan. Baik di kalangan pemerintah, maupun lingkungan sekolah (pendidikan). Ketidakjujuran sering dipertontonkan kepada publik, seperti pemerintah yang korupsi dan tidak jujur dalam menjalankan tugasnya. Di lingkungan pendidikan ketidakjujuran  juga sering kita temui. Sepertinya nilai kejujuran dalam dunia pendidikan masih menjadi sesuatu yang amat mahal. Kejujuran mudah dikatakan, tetapi sangat sulit diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Mengingat bahwa siswa merupakan calon agen pembaharu (agent of change) yang akan berperan membawa perubahan-perubahan konstruktif bagi negeri ini, hendaknya makna pendidikan jangan menyempit, hanya dinilai dengan angka. Namun pendidikan  penting melihat aspek secara keseluruhan. Karena kejujuran dalam bertindak sangatlah diperlukan. Terlebih lagi kejujuran dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Karena kejujuran yang didapatkan oleh generasi bangsa ini sangat mempengaruhi kondisi bangsa ke depan. Inilah sebenarnya penerapan pendidikan yang berkarakter itu.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa. Adapun tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dari tujuan pendidikan tersebut, kita hendaknya menyadari betul bahwa kejujuran merupakan salah satu unsur kekuatan spiritual, akhlak mulia, serta kepribadian sangat dibutuhkan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya dalam rangka membangun bangsa. Pendidikan seharusnya menyemai benih kejujuran bukan menyemai benih kemunafikan, kecurangan, dengan cara instant yaitu melalui Ujian Nasional. Sebab pendidikan seharusnya membangun fondasi moral bangsa.

Kalau dalam Ujian Nasional terdapat kebohongan hal itu justru akan menjadi boomerang. Kualitas pendidikan dan lulusan akan menjadi taruhan. Karena hasil itu adalah semu dan rekayasa, inilah hasil Pendidikan Karakter yang di tanamkan disekolah akan dipertaruhkan dalam Kejujuran Ujian Nasional mendatang.

Akhirnya, jangan kotori Ujian Nasional dengan sikap tidak jujur. Jangan nodai pendidikan Indonesia dengan sikap tidak jujur. Kejujuran Ujian nasional adalah investasi yang mahal untuk mencetak generasi bangsa yang bermartabat. Sedikit saja dimasuki “kotoran” maka kualitasnya akan tercemar. Kejujuran perlu dijaga kemurnian dan dilestarikan selamanya terutama dalam Ujian Nasional.  Bagaimana mau memberantas korupsi kalau kecurangan di awali dari masa pendidikan di Sekolah. Mari para pendidikan, teman teman guru, kita meneladani Sosok Rasulullah Muhammad SAW sebagai Guru Peradaban Dunia dalam menyikapi Ujian Nasional mendatang.

Sumber :
Suara Merdeka
Viva News
medan bisnis daily
cahyadi-takariawan.web.id
Dunia Esai
http://www.m-edukasi.web.id/2012/01/pendidikan-karakter-dipertaruhkan-dalam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar