Gema
Pendidikan Karakter tersiar di seluruh pelosok negeri, sebentar lagi
akan di pertaruhkan dalam kejujuran Ujian Nasional. Mungkin terlalu
sempit atau bisa jadi dianggap sangat tidak berdasar kalau kita katakan
bahwa kecurangan yang dilakukan dalam pelaksanaan Ujian Nasional
menjadi indikator ketidak jujuran pendidikan kita. Namun, tidak salah,
bila dijadikan sebagai salah satu indikator. Karena masih banyak unsur
atau elemen lain yang bisa dijadikan indikator. Bila kita benar-benar
jujur, maka kecurangan yang dilakukan oleh siswa,guru,
kepala sekolah maupun para pengambil kibijakan pendidikan dengan
manipulasi nilai Ujian Nasional tersebut, adalah sebuah bentuk bentuk
ketidak jujuran tersebut. Sekolah sebagai salah satu basis atau learning
center of honesty, selama ini sudah kehilangan makna kejujuran.
Banyak pihak tak setuju ada ujian nasional.
Bukan karena takut ujian, melainkan mensinyalir pelaksanaan ujian
nasional sering kali dinodai serangkaian ketidakjujuran. Ketidakjujuran
itu bisa berupa mencontek antarsiswa atau tindakan yang justru
difasilitasi sekolah. Memang betul ujian nasional bukan satu-satunya
syarat kelulusan. Namun tanpa lulus ujian nasional, dijamin siswa tak
lulus.
Mulai tahun 2003 Ujian Nasional diberlakukan,
sering kita melihat atau mendengar adanya makelar jawaban, jual beli
soal, pencurian soal. Dan tidak sedikit juga siswa yang bunuh diri,
frustasi, serta dampak psikologis siswa/siswi yang tidak lulus Ujian
Nasional. Selain itu, penyelenggaraan Ujian Nasional sebagai penentu
kelulusan juga menjadi momok menakutkan bagi siswa/siswi kelas 6 SD,
kelas 9 SLTP maupun kelas 12 SLTA. Hal ini tidak hanya bagi siswa, pihak
sekolah juga mengalaminya. Apalagi standar pendidikan kita yang belum
merata, sehingga Ujian Nasional merugikan siswa dan pihak sekolah.
Akibatnya pihak sekolah juga dapat berperan dalam kecurangan pendidikan
itu.
Sejak
Ujian Nasional diberlakukan, banyak permasalahan yang terjadi. Semisal,
Ujian Nasional yang mengerdilkan peran guru di sekolah karena dianggap
tidak mampu memberikan kelulusan. Juga moral siswa, serta adanya
anggapan yang meremehkan mata pelajaran yang tidak ikut diujiankan dalam
Ujian Nasional, hingga kecurangan-kecurangan yang terjadi pada saat
ujian.
Ujian nasional adalah investasi yang mahal.
Alur panjang mulai dari penyusunan soal, pencetakan soal,
pendistribusian soal, penilaian sampai kepada supervisi memerlukan biaya
besar. Di satu sisi Ujian Nasional juga telah bergeser fungsinya dari
sekedar ujian untuk mengukur prestasi menjadi ujian untuk mengukur
kejujuran. Baik untuk siswa, kepala sekolah, guru, orang tua dan dinas pendidikan.
Jujur adalah bibit unggul. Percuma baik tetapi tidak unggul. Ibarat padi,
dia bisa dipanen dan dikonsumsi, tetapi kalau tidak unggul dia hanya
mandeg sampai dikonsumsi saja.. Tetapi kalau unggul dia masih bisa
dijadikan bibit lagi untuk menghasilkan butiran-butiran padi yang lain.
Karenanya jangan gadaikan Ujian Nasional dengan sikap tidak jujur. Nilai
kejujuran bisa dinilai dari pemahaman pada setiap diri yang tersangkut
dalam Ujian Nasional. Apakah pendidik sudah mengajar dengan baik? Apakah
bahan yang diajarkan telah memenuhi standar dan berkualitas? Apakah
sarana dan prasarana sekolah telah dimanfaatkan dengan maksimal? Apakah
siswa telah belajar dengan sungguh-sungguh, memahami materi dan mampu
mengerjakan soal dengan baik?
Jika semua pihak bisa
introspeksi diri dengan usaha yang telah dilakukan maka itulah takaran
yang sesungguhnya. Hasil Ujian Nasional yang dicapai menunjukkan sejauh
mana pihak yang terkait telah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya
secara benar. Kini Ujian Nasional bisa dijadikan tolok ukur kejujuran
suatu bangsa. Bangsa yang jujur akan menghasilkan masyarakat yang jujur.
Masyarakat yang jujur akan menghasilkan pemimpin yang jujur yang tentu dipilih oleh rakyat yang jujur.
Ujian Nasional tahun ini tinggal
menghitung bulan atau hari, hampir setiap sekolah memadatkan
pembelajaran atau memberikan les pada siswa jauh sebelum pelaksanan
ujian nasional. Itu sebagai persiapan agar siswa terbiasa mengerjakan
soal-soal ujian nasional.
Kemudian, menjelang ujian
nasional, beberapa sekolah "menginfus" siswa dengan mengadakan doa dan
tahajud bersama. Langkah itu untuk menambah dorongan spiritual dan
ketenangan ketika mereka mengerjakan soal ujian.
Ternyata di lapangan, banyak
sekolah kurang mantap dengan hanya melakukan dua hal itu. Maka mereka
membuat tim (Tim sukses Ujian Nasional) untuk mendukung kelulusan
berdasarkan nilai minimal. Tim itu berupaya agar setiap siswa peserta
ujian mendapatkan nilai minimal 5,5 untuk setiap pelajaran. Jika target
itu tercapai berarti kerja tim dianggap sukses.
Tahun kemarin kita di kagetkan berita mengenai aduan “menyontek massal”
yang dilakukan suatu sekolah saat Ujian Nasional berlangsung.Dan tahun
sebelumnya di Medan, Komunitas Air Mata Guru (KAMG) menemukan bahwa
sebelum ujian negara (ujian nasional) dilakukan, naskah soal sudah
beredar di mana-mana. Dengan kata lain, terjadi kecurangan dengan
membocorkan naskah soal Ujian Nasional.
Keberanian
Alif dan Siami, ibu kandung Alif, melaporkan adanya menyontek massal
tersebut justru berujung petaka. Siami dicerca dan diusir masyarakat
dari rumahnya, hingga harus mengasingkan diri. Masyarakat dan pihak
sekolah tidak terima atas adanya aduan tersebut karena bisa merusak nama
baik sekolah dan sekaligus bisa membuat Ujian Nasional di sekolah
tersebut harus diulang.
Pemerintah bertindak cepat
dengan memeriksa dugaan tersebut, dan hasilnya dinyatakan tidak terbukti
ada tindakan menyontek massal. Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh
menegaskan tidak ada peristiwa mencontek massal di Sekolah Dasar Negeri
Gadel II, Surabaya, Jawa Timur. Bapak Muhammad Nuh memiliki sejumlah
bukti tidak ada insiden atau mobilisasi pencontekan massal dalam Ujian
Nasional yang digelar 10 – 12 Mei 2011.Silahkan baca VivaNews untuk
mengingat kembali peristiwa diatas, klik disini .
Sayang sekali kita lebih suka menjadi bangsa yang tidak jujur
atas kondisi diri sendiri. Kita tidak mau jujur bahwa masih banyak
persoalan terkait Ujian Nasional yang diseragamkan untuk seluruh sekolah
di Indonesia, sementara kualitas pendidikan di setiap daerah
berbeda-beda. Bagaimana menyamakan pendidikan di Jakarta dengan Papua ?
Kita ingin semua kualitasnya sama, namun kita tidak memiliki kesungguhan
untuk membuat semua sekolah di Indonesia setara kualitasnya. Jelas
sekali, sangat kasat mata, perbedaan kualitas pendidikan di Jakarta
dengan Papua, sebagai contoh yang sangat ekstrem.
Saat ini, kejujuran sangat sulit
ditemukan. Baik di kalangan pemerintah, maupun lingkungan sekolah
(pendidikan). Ketidakjujuran sering dipertontonkan kepada publik,
seperti pemerintah yang korupsi dan tidak jujur dalam menjalankan
tugasnya. Di lingkungan pendidikan ketidakjujuran juga sering kita
temui. Sepertinya nilai kejujuran dalam dunia pendidikan masih menjadi
sesuatu yang amat mahal. Kejujuran mudah dikatakan, tetapi sangat sulit
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengingat bahwa siswa merupakan calon agen pembaharu (agent of change)
yang akan berperan membawa perubahan-perubahan konstruktif bagi negeri
ini, hendaknya makna pendidikan jangan menyempit, hanya dinilai dengan
angka. Namun pendidikan penting melihat aspek secara keseluruhan.
Karena kejujuran dalam bertindak sangatlah diperlukan. Terlebih lagi
kejujuran dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Karena kejujuran yang
didapatkan oleh generasi bangsa ini sangat mempengaruhi kondisi bangsa
ke depan. Inilah sebenarnya penerapan pendidikan yang berkarakter itu.
Dalam Undang-Undang Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa fungsi
pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan berbangsa. Adapun tujuan pendidikan nasional adalah
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Dari tujuan pendidikan tersebut, kita hendaknya menyadari betul bahwa kejujuran merupakan salah
satu unsur kekuatan spiritual, akhlak mulia, serta kepribadian sangat
dibutuhkan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya dalam rangka
membangun bangsa. Pendidikan seharusnya menyemai benih kejujuran bukan
menyemai benih kemunafikan, kecurangan, dengan cara instant yaitu
melalui Ujian Nasional. Sebab pendidikan seharusnya membangun fondasi
moral bangsa.
Kalau
dalam Ujian Nasional terdapat kebohongan hal itu justru akan menjadi
boomerang. Kualitas pendidikan dan lulusan akan menjadi taruhan. Karena
hasil itu adalah semu dan rekayasa, inilah hasil Pendidikan Karakter
yang di tanamkan disekolah akan dipertaruhkan dalam Kejujuran Ujian
Nasional mendatang.
Sumber :
Suara Merdeka
Viva News
medan bisnis daily
cahyadi-takariawan.web.id
Dunia Esai
http://www.m-edukasi.web.id/2012/01/pendidikan-karakter-dipertaruhkan-dalam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar